- SEJARAH NAGARI PIANGGU
- Asal Usul Nagari
Tingkok Nagari (2004 : 2) menyatakan bahwa Nagari Pianggu pada awalnya didiami oleh dua kelompok masyarakat yang berlainan adat, yang salah satunya menganut aliran Koto Piliang dan yang lainnya menganut aliran Bodi Caniago. Aliran Koto Piliang berasal dari daerah Kinari, Sirukam atau Muaro Panas, sedangkan aliran Bodi Caniago berasal dari daerah Panyakalan.
Kelompok masyarakat dengan aliran Koto Piliang yang pada awalnya mendiami Nagari Pianggu (Urang – Urang Usoli), dapat dilihat hingga saat ini, baik dari segi harta atau gelaran sako dan sangsako yang dimiliko oleh petinggi adat. Seiring dengan berjalannya waktu kelompok aliran Koto Piliang memecahkan diri menurut asalnya sehingga terdapat dua suku yaitu Suku Panai dan Suku Melayu.
Berdasarkan analisa dan tinjauan yang dilakukan oleh Adat yang
berada di Nagari Pianggu didapatkan bahwasanya gelar Rajo berada di Suku Panai (bergelar Datuak Kayo), yang kemudian diperkuat dengan gelar sangsako penguhulunya yaitu Datuak Panghulu Dirajo. Sedangkan Suku Melayu memiliki gelaran sangsako penghulunya yaitu Datuak Paduko Kayo, yang berarti kata Paduko diterjemahkan sebagai Paduka yang berarti orang kedua setelah Raja (Panghulu Dirajo). Hingga saat ini kelompok aliran Koto Piliang masih terikat oleh kekuatan hukum adat yang dipegang oleh orang tujuh Niniak (tujuah urang Niniak) yang tersebar di kedua Suku, dengan pembagiannya empat orang Niniak berada di Suku Panai dikarenakan penambahan dengan Niniak Datuak Kayo (Rajo Nagari) dan tiga orang Niniak berada di Suku Melayu.
Kelompok masyarakat dengan aliran Bodi Caniago lebih menyukai
berdiam diri atau menempati wilayah bagian utara dari Nagari Pianggu pada awalnya. Namun seiring berjalannya waktu kelompok Bodi Caniago juga memecah diri menjadi tiga suku ( Suku Supanjang, Suku Caniago, dan Suku Dalimo), sehingga dikenal dengan sebutan orang sembilan Niniak
(sambilan urang Niniak), dengan pembagian tiga orang Niniak di masing masing suku. Sedangkan batu semaian untuk tujuh niniak berada di Luak Anyia.
Nama Nagari Pianggu diriwayatkan selalu diwariskan dari dahulunya,
berdasarkan sejarah niniak – niniak terdahulu melakukan perjalanan untuk mencari tempat dan hutan hunian serta kebun untuk membuka lahan baru (manaruko ladang), mereka berangkat dari Sirukam, Kinari, Muaro Paneh, Panyakalan, dan Aro Solok melalui jalan setapak dan hutan belantara dengan perbekalan seadanya. Beberapa rombongan niniak tersebut berjalan melalui daerah Sirukam, Kinari, dan terus menuju Sungai Durian, Bukik Bais, dan berhenti di Taruang – Taruang yang berada tepat di Puncak Sigi (Puncak Penglihatan), dari puncak tersebut mereka memandang ke arah utara sehingga terlihat sebuah puncak yang paling tinggi yaitu puncak gunung Barangkek dengan ranahnya yang terbentang waktu itu. Masing – masing rombongan berniat untuk mencapai puncak tersebut, sewaktu diperjalanan mereka mengucapkan ampianyo ngku (hampir sampai angku) kepada rombongan yang sudah dianggap tua. Ucapan ampianyo ngku selalu diucapkan selama perjalanan, hal ini dilakukan untuk memberikan semangat kepada Angku yang sudah mulai keletihan.
Setelah menempuh perjalan yang cukup lama tibalah rombongan di
puncak gunung Barangkek, namun mengingat rombongan yang merasa kehausan dan lapar timbul keinginan untuk mencari sumber air, seketika mereka melihat daerah yang dimungkinkan memiliki sumber air, setelah melihat ke daerah tersebut terlihat sumber mata air namun airnya kecil dan tidak cukup untuk semua rombongan. Melihat kejadian tersebut berdoa angku untuk meminta kehadirat Allah SWT supaya aliran air besar, seketika Allah SWT memperlihatkan kebesarannya dengan keluarnya air yang berlimpah yang hingga saat ini dikenal dengan Air Taburo (aia taburo).
Setelah air tersedia untuk mengangkut air menggunakan kupiangku sebelum menemukan limeh yang terbuat dari upiah. Seiring berjalannya waktu kedua kelompok rombongan berkeinginan untuk mencari daerah yang layak untuk diolah, baik untuk dijadikan ladang atau untuk ditaruko
menjadi sawah. Akhirnya mereka membuat kesepakatan dan kedua
2
kelompok berpisah, kelompok pertama Ranah Dusun Tuo sedangkan kelompok kedua menuju Gobah. Walaupun daerah hunian saling berjauhan hubungan antara kedua kelompok tetap terpeihara dengan baik.
Beberapa tahun telah berlalu jumlah penduduk terus bertambah anak
cucu semakin berkembang, peladangan dan persawahan sudah digarap, maka timbul keinginan untuk memiliki sebuah Nagari seperti daerah lain. Taratak alah dusunpun ado, basawah alah baladang ado, jalan jo labuah lah mulai pasa, sehingga bermufakat kedua kelompok dari Dusun Tuo dengan kelompok yang turun ke Gobah.
Setelah semua penduduk duduk untuk baropok bakato baiyo untuk musyawarah bagaimana prosedur untuk mendirian sebuah Nagari, serta dimana pusat Nagari akan dipusatkan. Kesempatan untuk mendirikan Nagari sudah dapat disetujui namun mufakat untuk tempat pusat Nagari tidak dapat disetujui karena masing – masing kelompok ingin menempatkan pusat Nagari di daerahnya.
Dikerenakan kedua kelompok tidak ada yang mau mengalah maka
timbul keputusan untuk meminta titah (pendapat) dari Angku Nan Tuo, yang isinya yaitu :
- Pusat Nagari harus berada di pertengahan, dengan artian pusat
Nagari berada diantara dua kelompok.
- Pusat Nagari harus dekat dengan sumber air yang banyak.
- Lokasi harus berada dinan ranah.
Setelah masing – masing kelompok mencari lokasi kelompok pertama menawarkan lokasi berada di Pianggu saat ini, dikarenakan mata airnya banyak, daerahnya Ranah, serte terletak di pertengahan, sedangkan kelompok kedua menawarkan daerah Jedang sekarang, lantaran luaknyo ampiang jo lurahnya Tigo. Namun usulan kelompok pertama mendapat pertentangan dari kelompok kedua dengan alasan lokasi pada kelompok pertama aia luaknyo anyia (air luaknya amis), luaknyo taban (mudah runtuh). Kesepakatan tidak kunjung didapat diarenakan kelompok pertama yang beraliran Koto Piliang menginginkan keputusan titiak dari ateh
(keputusan diambil dari petinggi), sedangkan kelompok kedua yang
3
beraliran Bodi Caniago menginginkan keputusan mambasuik dari bumi
(keputusan diambil dari musyawarah bersama).
Melihat tidak ditemukan titik terang, maka diutus beberapa orang dari kedua kelompok untuk berangkat dan menemui nan tuo-tuodi daerah Kubung Tigo Baleh. Setelah dari Kubung Tigo Baleh maka didapatkan keputusan sebagai berikut :
- Dikarenakan terdapat dua kelompok dengan aliran adat yang
berbeda di daerah ini, maka adat yang dipakai adalah Pisang Sikalek Kalek Hutan, Pisang Timbatu nan Bagatah, dikatokan Koto Piliang inyo bukan, dikkatokan Bodi Caniago inyo antah.
- Dikarenakan daerah ini merupakan rantau dari Kubung Tigo Baleh
maka ditempatkan seorang raja, karena adat rantau barajo, dan rajo harus dari kelompok yang paling usoli, nan mancancang nan malatiah, marintih jo manaruko.
- Sebelum mendirikan Nagari rajo harus ditentukan, karena rajolah yang akan menghukum kedua kelompok yang bertentangan untuk memperebutkan kedudukan pusat Nagari, serta rajo yang akan menjadi ketua (mengepalai) seluruh penghulu di dalam suku.
Setelah kembalinya utusan kedua kelompok dari Kubung Tigo Baleh maka rajo dan penghulu akan memutuskan pembagian ulayat, maka bermufakat Rajo dengan Penghulu yang terjadi di Ranah Gantiang pada saat ini, dan disitu biang tabuak gantiang putuih, maka ditetapkan pusat Nagari disekitar daerah tersebut dengan nama Nagari Pianggu.
Nagari Pianggu tidak memiliki sinonim atau persamaan dengan kata benda atau nama lainnya, namun berasal dari ucapan yang sering diucapkan dan ketidak tepatan dalam penguapannya, dan menurut riwayat nama Nagari Pianggu berasal dari :
- Perkataan ampiangnyo ngku dari rombongan kepada Angku –
angku yang telah tua untuk memberikan semangat.
- Lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan kesepakatan dimana letak pusat Nagari, yang artinya selalu menunggu –
nunggu.
4
- Berasal dari sebuah pohon besar yang terletak di sekitar lurah Talaruang, pohon tersebut dikenal sangat angker dan menakutkan, dan setiap orang yang lewat kearah tersebut merasa terganggu. Pohon tersebut dinamakan pohon Ketapiang, yang biasa disebut Ketapiang Pengganggu.
Berdasarkan Tambo Minangkabau (1956 : ) Nagari Pianggu termasuk dalam Nagari Sembilan Koto yaitu :
- Guguak Sarai
- Koto Laweh
- Indudur
- 4. Pianggu
- Sungai Djambu
- 6. Taruang – taruang
- Bukik Bais
- 8. Sungai Durian
- 9. Siharo – haro
Nagari Pianggu turunnya dari Silungkang, yang bermula ke Talang Tuluih, kemudian ke Pianggu, didalamnya ada lima suku, dikarenakan Nagari itu bernama Sembilan Koto, untuk mempertahankan Sungai Lasi dari serangan orang Silungkang. Sebelah mudik Sungai Lasi berbatasan dengan Solok, sedangkan arah hilir berbatasan dengan Silungkang, kemudian orang Silungkang dan Padang Sibusuk mudik yang bertujuan untuk memerangi orang Sungai Lasi dan hendak mengambil sawah, sehingga lari orang Sungai Lasi ke Djambu sekarang.
Sesampainya orang Sungai Lasi di Djambu bertanyalah Imam Nan
Pandjang dan Niniak orang Caniago. Sambil berlari orang – orang itu meneriakkan bahwasanya orang Silungkang dan Padang Sibusuk telah mudik dengan tujuan untuk memerangi orang Sungai Lasi dan akan mengambil sawah-sawahnya. Mendengar perkataan mereka Imam Nan Pandjang pergi mencari mufakat kepada Radjo Nan Sati di Solok untuk mencari jalan keluar atas permasalahan yang terjadi, kepada Khatib Mandjalani di Supanjang, ke Koto Anau serta ke Guguak Nan Guguak, dan
mufakat dengan Tuanku Buah Pariang di Palangki Muaro Bodi. Mereka
5
semua berkumpul di Solok untuk mencari mufakat, dan mufakat akan mengisi ketundukan kepada orang Silungkang tersebut dengan membayar emas sebesar karambia bakulik (kelapa dengan kulitnya). Selanjutnya Datuak Sutan melelang di Tanjuang Balik masuk ke laras Koto Piliang dan Silungkang juga masuk laras Koto Piliang, sehingga dibuat mufakat dengan Koto Nan Sambilan yang berbunyi “kalau mudik orang Silungkang dan Padang Sibusuk untuk memerangi Sungai Lasi, maka dibunyikan bedil (sejenis meriam yang terbuat dari bambu) dari Bukit Kepudjan sebelah hilir Pemuatan.
Sesuai dengan mufakat yang telah ditentukan maka dibuatlah emas sebesar kelapa berkulit namun didalamnya diisi dengan timah saja, setelah jadi emas diantarkan oleh Datuk Rajo Nan Sati orang Solok dan Khatib Mandjalani orang Supanjang ke Silungkang sebagai sebagai tanda ketundukan. Setelah emas diterima, emas tersebut dibelah oleh orang Silungkang, dikarenakan isi didalamnya berupa timah bermufakat orang Silungkang dan Padang Sibusuk untuk mudik memerangi orang Sungai Lasi. Sesampainya mereka di Talang Tuluih arah hilir dibunyikan bedil di Bukit Kepudjan, sehingga terganggu Silungkang dan Padang Sibusuk yang berada disana sehingga tempat itu dinamakan “Pengganggu” kemudian menjadi Pianggu, dikarenakan orang Silungkang tidak jadi merampas Sungai Lasi dikarenakan mufakat Nagari Nan Sambilan, maka daerah dibagi oleh orang Koto Nan Sambilan itu sawah – sawah orang Sungai Lasi dan dinamakan Nagari yang semufakat itu Sembilan Koto.
- 2. Sejarah Nagari
Berdasarkan sejarah dari orang tua penduduk Nagari Pianggu, nenek moyang berasal dari dua tempat turun, yaitu :
- Nenek moyang pertama berasal dari Padang Panjang, disana
mereka bercocok tanam dan berkembang biak, selanjutnya mereka mencari tempat permukiman yang baru, setelah melakukan mufakat mereka mendapatkan keputusan sebagian dari dua suku (Supanjang dan Caniago) dengan kelompok turun berjalan menuju
Padang Lua, Padang Magek Sicurah, Padang Simawang, Tanjung
6
Balik, Tanjung Alai, Bukit Bunian, turun ke lembah Koto Lawe, turun ke suatu bukit yang tinggi sekarang disebut dengan Gunung Barangkek, nenek moyang pertama menganut keselarasan Bodi Caniago.
- Nenek moyang kedua turun dari Sirukam dan Kinari, setibanya
disana mereka bercocok tanam dan berkembang biak, setelah itu mereka mereka hendak mencari tempat baru untuk bermukim dan bercocok tanam, nenek moyang kedua ini menganut keselarasan Koto Piliang.
Sesampainya kelompok Koto Piliang di tempat Bodi Caniago mereka berkumpul dan merasa tidak ada kecocokan antara kedua aliran, sehingga kelompok aliran Bodi Caniago yang mendiami bukit pertama kali turun dari bukit dengan berkata “kalompok partamo barangkek di angkek” (kelompok pertama berangkat), sehingga bukit yang semula didiami nenek moyang diberi nama Gunung Barangkek. Nenek moyang pertama turun menuju Guguak Karambia dikarenakan tenggelam di Lokuak Boncah, selanjutnya turun lagi kebawah yang sekarang dinamakan Guguak Bolek, berasal dari Guak Olek-olek turun ke ranah pendakian dan disitulah nenek moyang yang pertama kali menata dan membuat dusun sehingga dinamakan Dusun Tuo.
Setelah lama bermukim di Dusun Tuo datang kelompok nenek
moyang dari Sembarang Kajai dan Lunto, setelah mereka menetap dan berkembang maka muncul keinginan untuk membentuk pimpinan dari suku Supanjang dan Caniago, sehingga dihimbau seluruh kelompok untuk melakukan musyawarah, ditengah musyawarah sebagian orang menyebut pane yang berarti panas, dikarenakan tempat berkumpul mereka sebahagian kepanasan. Mendengar kata pane kelompok tersebut diberi nama Panai setelah itu dihimbau juga kelompok lain untuk berkumpul dan kelompok itu menjawab mala iyo. Mendengar perkataan tersebut diberilah nama kelompok tersebut Malayu dan sekelompok lainnya dihimbau untuk berkumpul, kelompok tersebut menjawab sudahlah limo. Mendengar perkataan dari kelompok tersebut maka dinamakan kelompok tersebut
dengan Dalimo sedangkan kelompok tersebut masih satu rombongan
7
dengan nenek suku Caniago. Setelah semua berkumpul maka musyawarah dibuka dengan tujuan :
- Menetapkan nama kelompok
- Mencari pimpinan kelompok
- Mencari pembantu pimpinan
- 4. Menetapkan nama kampuang (Koto)
Berdasarkan cerita musyawarah berjalan selama enam hari dan baru selesai, keempat tujuan musyawarah pada hari pertama selesai dengan menetapkan nama suku yaitu Suku Supanjang, Suku Caniago, Suku Malayu, Suku Panai, dan Suku Dalimo.
Pada hari kedua mendapat kesepakatan setiap suku dipimpin oleh
datuak yang disepakati oleh kelima suku, sehingga ada lima orang datuak, dikarenakan perbedaan jumlah masyarakat di setiap suku.
Pada hari ketiga musyawarah dilakukan untuk mencari tungganai yang akan bertugas untuk manguruang jo manyaok (membuka dan menutup), sehingga kesepakatan jatuh di Suku Supanjang, empat tungganai di Supanjang, tiga tungganai di Caniago, dua tungganai di Malayu dan Dalimo, dan satu tungganai di Panai, sehingga total ada 12 orang tungganai.
Pada hari keempat musyawarah dilakukan untuk nama kampung
namun dalam musyawarah mufakat ada yang mengusulkan nama Dusun Tuo Korong 12 maka disepakati nama kampuang Korong 12 yang artinya 12 orang tungganai sekarang disebut 12 mamak rumah. Setelah terbentuk Datuak Nan Balimo dan mamak rumah 12 maka dicari apa tujuan dipilih pimpinan, tentu ada yang di dipacik (dipegang) dari seorang pemimpin. Datuak Nan Balimo yaitu sabarek saringan barek dipikua ringan samo dijinjiang berazazkan keselarasan Bodi Caniago biang tabuak gantiang putuih oleh datuak nan balimo, masing – masing suku di Korong 12 kemudian bermusyawarahlah Datuak Nan Balimo dengan mamak rumah nan 12, dengan isi musyawarah akan menentukan wilayat (wilayah) masing- masing suku, sehingga didapat kesepakatan untuk mendapatkan wilayat dengan menerbangkan kapuak, dimanapun kapuak itu hinggap disanalah
wilayatnya. Setelah didapat wilayat nenek moyang mereka turun ke bawah
8
karena di Dusun Tuo air sulit ditemukan, hanya ditemukan tiga mata air yaitu luak ampiang, luak kumba (luak camba), dan luak batu larang (luak batu laruang). Setelah turun ke tempat yang banyak air, timbul keinginan untuk membuat rumah, maka dilakukan barek samo dipikua ringan samo dijinjiang dengan musyawarah mufakat maka turun tita (perintah) dari Datuan Nan Balimo siapa yang akan membuat rumah harus didudukkan Datuak Nan Balimo dan Mamak Rumah Nan Duo Baleh mulai mencari perumahan sampai akan batukang (bekerja), dengan tujuan untuk mendudukkan Datuak Nan Balimo dan mamak rumah kok tumbuah malang dapek kecelakaan Datuak Nan Balimo dengan mamak rumah yang bersangkutan bertanggung jawab begitu juga mulai bekerja seperti mencari
perumahan.